Senin, 12 Juli 2010

rendahnya kualitas penegakan hukum di indonesia

rendahnya penegakan hukum di indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor internal dan faktor eksternal
faktor internal yaitu :
substansi dari perundangan - undangan saat ini
rendahnya kualitas aparat penegak hukum
kurangnya kesadaran masyarkat ( budaya hukum )
faktor eksternal yaitu karena :
kemajuan teknelogi yang menimbulkan delik - delik baru yang belum diatur oleh undang - undang sehingga perkembangan hukum selalu tertinggal daripada perkembangan kejahatan ..

Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani

Era reformasi yang kini dijalani masyarakat indonesia pada dasarnya merupakan upaya perubahan secara menyeluruh guna mencapai perbaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menuju suatu tatanan masyarakat indonesia baru yang lebih demokratis, menghargai harkat dan martabat manusia serta yang lebih menjunjung tinggi asas supremasi hukum dan menerapkan hukum yang pasti dan adil.
Hukum dengan berbagai fungsi dan manifestasinya mempunyai peranan penting dalam pembentukan masyarakat yang dicita-citakan karena itu politik hukum dimasa-masa mendatang harus secara sungguh-sungguh diarahkan kepada perwujudan dan peningkatan kehidupan masyarakat indonesia yang majemuk yang bertumpu pada landasan Bhineka Tunggal Ika yang demokratis, dengan tetap memperhatikan tatanan yang berlaku dalam pergaulan masyarakat internasional.
Konstitusi dengan dokumen hukum yang mempunyai kedudukan sangat mendasar dalam kehidupan suatu negara modern, harus mampu menjamin terselenggaranya pemerintahan dan kehidupan yang demokratis yang penting bagi berkembangnya masyarakat indonesia baru. Undang-undang Dasar 1945 dirasa kurang mampu menciptakan kehidupan yang demokratis, adil dan sejahtera. Berdasarkan hal tersebut amandemen konstitusi harus segera dilakukan sebagai tahap penting dari proses reformasi hukum, yang nantinya menjadi dasar dan rujukan bagi seluruh usaha dalam penciptaan landasan bagi perwujudan masyarakat Indonesia baru.
Sistem pemerintahan layak (good governance), yang terwujud dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih, transparan, partisipatif, dan yang memiliki akuntabilitas publik, merupakan hal yang sangat menentukan berfungsinya suprastruktur dan infrasstruktur politik sesuai dengan ketentuan hukum serta yang sekaligus dapat menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia sebagai prasyarat bagi berkembangnya masyarakat indonesia baru, belum sepenuhnya mendapat jaminan secara menyeluruh dan mendasar, yang dalam beberapa hal keadaan tersebut dapat dikembalikan pada ketentuan UUD 1945 yang bersifat singkat dan mendua (ambivalen). Oleh karena itu, perlu perlindungan hak asasi manusia mendapat pengaturan menyeluruh dalam konstitusi, disertai pengembangan peranan peradilan dan kesadaran serta peluang masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya.
Kemandirian sistem peradilan ( kekuasaan kehakiman menurut UUD 1945 ) merupakan tiang utama negara yang mendasarkan diri pada demokrasi dan supremasi hukum, oleh karena itu pelaksanaan sistem peradilan yang tereduksi oleh sistem politik, praktek-praktek intervensi yang datang dari kekuasaan ekstra yudisial, dan banyaknya pelanggaran etika profesi hukum, terbukti telah merusak sendi-sendi dasar kehidupan demokrasi dan supremasi hukum. Berdasarkan hal tersebut, usaha yang sudah mulai dilakukan untuk menuju terciptanya sistem peradilan yang merdeka, harus terus dikembangkan, dengan disertai usaha penguatan peranan profesi hukum dan organisasinya melalui undang-undang dan peningkatan akuntabilitas publik sistem peradilan.
Penyelenggaraan pemerintah daerah dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam lingkup negara kesatuan pada dasarnya dapat dilihat, baik sebagai usaha pengembangan demokrasi sampai pada tingkat daerah maupun sebagai instrumen pelayanan di bidang kesejahteraan yang tersebar ke satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah, oleh karena itu pemberdayaan pemerintah daerah dan lembaga perwakilan daerah, yang ditujukan pada usaha kemandirian dan kebebasan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, harus mencakup upaya peningkatan efisiensi dan efektifitas, kemampuan manajemen, kemampuan membangun partisipasi, serta kemampuan mewujudkan pemerintahan yang bersih dan demokratis.
Kebhinekaan sosial dan budaya merupakan ciri masyarakat dan bangsa indonesia merupakan aset dalam membangun masyarakat indonesia baru di masa depan. Oleh karena itu, agar hukum dapat mempunyai peranan dalam pembentukan masyarakat yang dicita-citakan, setiap usaha pembangunan hukum harus secara sungguh-sungguh memperhatikan eksistensi kebhinekaan sosial .dan budaya serta lembaga hukum adat lokal, sebagai aspek hukum yang mendasar.
Dalam era reformasi ini masyarakat Indonesia menginginkan terwujudnya suatu masyarakat baru yakni "masyarakat madani". Masyarakat baru yang mengharapkan terwujudnya kemajuan, kesejahteraan, kebahagiaan, keterbukaan, keadilan, saling menghormati dan menghargai, menegakkan hukum dengan adil, menghargai hak asasi manusia, dan ingin meninggalkan pola-pola kehidupan KKN sampai ke akar – akarnya.
Mewujudkan masyarakat seperti itu bukanlah pekerjaan yang mudah, akan tetapi butuh proses dan perjuangan yang cukup panjang.. Indonesia membutuhkan system hukum yang baik dan mampu membangun kesadaran masyarakat untuk ikut serta dalam membangun masyarakatnya sendiri. Hukum gaya lama yang lebih mengedepankan legal positifistik perlu direformasi dengan sistem hukum yang progresif dan melihat bahwa hukum tidak hanya terbatas pada undang – undang tetapi lebih dari itu bahwa hukum merupakan realitas sosial yang tidak dapat dipisahkan dari unsur non hukum seperti moral, budaya, dll. Diharapkan dengan system hukum yang seperti ini dapat membangun suatu masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbun gofur ( bangsa yang aman sejahtera ada dalam ampunan Allah ) bagi seluruh penghuninya. Masyarakat yang ingin dibangun yakni masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat madani (civil society).
Masyarakat madani yang didambakan dan sedang diperjuangkan oleh kekuatan reformasi hukum adalah suatu masyarakat yang bercirikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. demokrasi, sebagai ciri utama memiliki konsekuensi luas diantaranya adalah menuntut kemampuan partisipasi masyarakat dalam sistem politik, dengan organisasi-organisasi yang mandiri sehingga memungkinkan pengawasan aktif dari masyarakat terhadap pemerintah dan pembangunan
b. kepastian hukum atau masyarakat yang diwarnai oleh rule of law bukan kekuasaan yang sangat dominan, tetapi hukumlah yang perlu ditegakkan
c. egalitarian, artinya suatu masyarakat yang memperjuangkan keadilan, memberikan kesempatan yang luas kepada masyarakat bukan hanya segelintir kelompok elite untuk maju dan berkembang;
d. penghargaan yang tinggi atas human dignity
e. kemajemukan budaya dan bangsa dalam satu kesatuan, indonesia merupakan suatu masyarakat yang multietnik sekaligus multikultural
f. religius, yakni masyarakat sipil yang diinginkan bukan suatu masyarakat yang sekuler-materialistik, tetapi etis-religius.
Pengembangan kehidupan yang demokratis yang menjunjung tinggi supremasi hukum ditentukan oleh kualitas manusia, khususnya kalangan yang termasuk elemen demokrasi, perlu dilakukan usaha terus menerus untuk mencapai standar profesi hukum yang tinggi melalui pendidikan hukum berkelanjutan (continuing legal education) serta penegakan etika profesi hukum yang dilakukan secara konsisten.
Sejak kemerdekaan republik indonesia, para bapak bangsa (founding fathers) bercita-cita menciptakan suatu negara hukum (rechsstaat). Segala kebijakan negara, termasuk legislasi peraturan perundang-undangan, harus berdasarkan konstitusi. Pada masa pemerintahan Soekarno reformasi hukum mengalami hambatan dan terhenti. Soekarno lebih memprioritaskan pembangunan politik dan sistem pemerintahan, akbatnya, tujuan menciptakan negara hukum terabaikan oleh kepentingan politik dan ambisi Soekarno untuk memposisikan indonesia sebagai pemimpin dari negara-negara non-blok. Pemerintah membuka jalan bagi keterlibatan militer dalam bidang politik, yang melahirkan konsep “Dwifungsi ABRI”. Bahkan, pemerintah juga memiliki kewenangan untuk ikut campur dalam pengadilan, sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 UU No 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sementara itu, di masa pemerintahan Soeharto, reformasi hukum nasional hanya memfokuskan pada legislasi hukum melalui pembentukan peraturan perundang-undangan yang dapat mendukung kebijakan politik dan ekonomi pemerintah, selain itu pada masa ini sistem hukum sudah sangat korup dan tidak dapat memenuhi kebutuhan negara dan masyarakat. Pemerintahan Soeharto yang otoriter mempergunakan hukum sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sayangnya, hingga masa pemerintahan sekarang ini, reformasi hukum belum dilaksanakan dengan sungguh, ini dibuktikan dengan masih dilakukannya kebiasaan-kebiasaan zaman orde baru melalui praktik judicial corruption, tidak tuntasnya masalah penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM, dan korupsi.
Reformasi hukum membutuhkan waktu yang lama untuk dapat terlaksana, namun reformasi hukum menyeluruh akan memberikan implikasi terhadap upaya pemberantasan korupsi serta perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di indonesia. Tegaknya rule of law dapat menjamin penegakan supremasi hukum, yang pada akhirnya akan mendukung reformasi hukum dan pembangunan hukum nasional.
Penegakan hukum di Indonesia belum dijalankan secara adil oleh karena itu diperlukan adanya reformasi hukum. Reformasi hukum di indonesia terdiri masalah penegakan hukum atau law enforcement, karena hal ini tidak dijalankan sehingga keadilan belum bisa diwujudkan. Fakta- fakta pendukung Lambatnya penanganan kasus pelanggaran hukum yaitu sengketa kepolisian dengan KPK, kasus Bank Century dll. Penegak hukum ketika dihadapkan dengan masalah yang melibatkan organ atau tokoh besar, hukum sangat lambat dalam penanganannya tetapi ketika hukum berhadapan dengan rakyat kecil sebagaimana terjadi sekarang dimana orang yang hanya mencuri semangka dijebloskan ke dalam penjara, ini adalah yang nampak ke permukaan entah berapa orang lagi yang tidak nampak ke permukaan hanya karena mencuri untuk sesuap nasi lantas di lain sisi para koruptor dibiarkankan saja bebas dan lepas dari tuntutan.
Untuk mereformasi sebuah system hukum di indonesia hal yang perlu diperhatikan adalah paradigma penegakan hukum progresif. Dalam hukum progresif mengartikan hukum tidak hanya pada peraturan tertulis tepapi juga memperhatikan norma atau kaidah yang berlaku di masyarakat, hukum tidak berlaku legal positifistik tetapi legal sosiologis. Apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui hukum adat atau hukum yang berlaku pada kelompok tersebut, maka alangkah bijaknya jika hukum Negara tidak melakukan intervensi, artinya bahwa biarkan masyarakat menyelesaikan masalah sendiri dengan hukumnya dan menemukan bentuk hukumnya sendiri tanpa dipengaruhi oleh tangan – tangan Negara. Dengan system hukum seperti ini diharapkan akan tercipta masyarakat dengan kesadaran hukum dan ketertiban yang tinggi sehingga cita – cita masyarakat madani dapat terwujud dan membumi di indonesia.

KEDUDUKAN WANITA ANTARA EMANSIPASI & SYARIAT

A. Sejarah Emansipasi
Berbicara tentang emansipasi wanita di negeri ini, belum sempurna tanpa mengangkat tokoh wanita R.A Kartini. Bahkan para aktivis feminisme menganggap bahwa peletak dasar perjuangan hak-hak kaum feminim di negeri ini adalah Ibu Kartini. Karena itu, kami menganggap perlu sedikit membahas tentang Ibu Kartini ini.
Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, dalam bukunya “Menemukan Sejarah” (hal. 183), menuliskan komentar Kartini, “Sekarang ini kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang seteguh-teguhnya di tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.”
Dijelaskan pula bahwa semboyan “Habis Gelap Terbitlah Terang” diilhami oleh cahaya Al Qur’an yang menerangi hatinya, Minazhzulumâti ilân nûr (Dari kegelapan kepada cahaya Islam).
Hal itu terjadi saat beliau mengalami kebingungan setelah melakukan korespondensi dengan sahabat-sahabatnya di luar negeri (Belanda). Bercerita tentang apa saja, dan ternyata juga tentang agama. Jadi, bukan cuma bicara tentang emansipasi. Ternyata kalau ditilik, perjuangan R.A. Kartini, paling tidak menurut pengarang buku “Menemukan Sejarah”, masih ada kaitannya dengan pergerakan kebangkitan, yang bernuansa Islami. Kaum feminis mesti tahu soal itu. Meskipun memang bukan kesimpulan akhir, sebab Kartini juga konon kabarnya baru sebatas proses berpikir ke arah Islam. Tapi itu pun sudah pantas diakui sebagai prestasi tersendiri bagi seorang wanita yang hidup di tengah kehidupan bangsawan dan di masa penjajahan. Namun, Kartini keburu meninggal di usia muda, 25 tahun. Bandingkan dengan “Kartini-Kartini kontemporer” sekarang ini, yang mengaku mengidolakan Kartini, mereka tidak terilhami oleh Al Qur’an, bahkan justru meletakkan Al Qur’an di bawah tapak kaki mereka. Wallâhul Musta’an.
Catatan sejarah menunjukkan bahwasanya kehidupan kaum wanita di masa jahiliah amat memprihatinkan. Di kalangan orang Arab jahiliah, kaum wanita amatlah hina. Betapa marah dan malunya mereka bila diberi kabar tentang kelahiran anak wanitanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar tentang (kelahiran) anak wanita, hitamlah (merah padamlah) mukanya dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (An-Nahl: 58-59)
Demikian pula pada seluruh umat –selain umat Islam– baik di zaman dahulu maupun di masa kini, kaum wanita (mereka) tak mendapatkan kehormatan yang sepadan dengan nilai-nilai kewanitaannya bahkan kemanusiannya. (Lebih rincinya lihat Al-Huquq wal Wajibat ‘Alar Rijal wan Nisa` fil Islam, karya Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, www.rabee.net dan Tanbihat Ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)
lalu bagaimanakah kaum wanita dalam sejarah peradaban Islam? Benarkah haknya dipasung, kebebasannya dibelenggu dan potensinya dipangkas, sebagaimana yang dipropagandakan para pengusung emansipasi?
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali –hafizhahullah– berkata: “Adapun agama Islam, maka ia telah membebaskan kaum wanita dari belenggu, melepaskannya dari segala bentuk penindasan, kedzaliman, kegelapan, kenistaan dan perbudakan, serta memosisikannya pada posisi dan kedudukan mulia yang belum pernah didapati pada seluruh umat (selain Islam, pen.), baik dia berstatus sebagai ibu, anak, istri ataupun saudara perempuan. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya dari atas langit yang ketujuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang wanita, serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Al-Hujurat: 13)
Kaum wanita tak perlu mengadakan muktamar-muktamar, seminar-seminar, atau simposium-simposium, untuk menetapkan nilai-nilai kemanusiaannya berikut hak-haknya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya telah menetapkannya, dan umat Islam pun mengimaninya.
Kaum wanita berhak berhijrah, dan berhak pula mendapatkan pembelaan dan perlindungan dari kaum mukminin. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللهُ أَعْلَمُ بِإِيْمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang berhijrah kepada kalian para wanita yang beriman, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kalian telah membuktikan bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kalian kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka.” (Al-Mumtahanah: 10)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkan segala bentuk tindakan yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa suatu kesalahan yang mereka perbuat. وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”(Al-Ahzab: 58)
Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam siapa saja yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada (agama) orang-orang mukmin dan mukminah serta enggan bertaubat dengan siksa Jahannam.
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَتُوبُوا فَلَهُمْ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمْ عَذَابُ الْحَرِيقِ
“Sesungguhnya orang-orang yang memfitnah (mendatangkan cobaan) kepada orang-orang mukmin dan mukminah kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka adzab Jahannam dan bagi mereka adzab yang membakar.” (Al-Buruj: 10)
Tak luput pula Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memohon ampun dari segala dosanya dan memohonkan ampun bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Maka ketahuilah, bahwasanya tiada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan Allah dan mohonlah ampun bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin laki-laki dan wanita.” (Muhammad: 19)
Apabila musuh-musuh Islam tersebut ingin melihat secercah posisi wanita dalam agama Islam, maka tengoklah jenazahnya saat di antar ke pekuburan dan saat dishalati. Barangkali orang-orang kafir dan munafik itu akan lebih terheran-heran manakala menyaksikan ratusan ribu kaum muslimin di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi yang merapikan shafnya saat menshalati seorang wanita atau seorang bayi wanita.
Demikianlah berbagai keistimewaan dan anugerah Islam untuk wanita mukminah yang tak akan didapati pada agama (selainnya) yang telah menyimpang. Agama baru yang diada-adakan ataupun aturan-aturan semu yang diklaim telah mengangkat harkat dan martabat kaum wanita.
Lebih-lebih di era modern yang dikendalikan oleh Yahudi dan Nashara ini, kaum wanita benar-benar direndahkan dan dihinakan. Mereka dijadikan sebagai komoditas murahan dan obyek kesenangan kaum lelaki. Baik di dunia usaha, tempat kerja ataupun di keramaian. Begitupun di jagad mode serta beragam media (cetak, elektronik, hingga dunia maya). Wanita tampil sekadar benda penghias, baik sebagai SPG, bintang iklan, bintang sampul, dll. Kehormatan kaum wanita diinjak-injak dengan ditampilkannya aurat bahkan foto-foto telanjang mereka di sekian banyak media, demi memuaskan nafsu para lelaki hidung belang dengan pemandangan-pemandangan porno itu. Padahal dampak dari kerusakan ini bisa berupa mata rantai yang panjang. Badan statistik pun bisa-bisa bakal kesulitan untuk mensensus kejadian hamil (di luar nikah) dan jumlah anak jadah/haram.
Ini semua merupakan hasil (baca: akibat) dari aturan-aturan yang mengklaim telah berbuat adil terhadap kaum wanita dan telah memberikan segala haknya, termasuk dalam hal kebebasan dan persamaan hak. Juga sebagai akibat dari opini jahat yang selalu disuarakan sebagai bentuk dukungan terhadap segala aturan dan undang-undang yang menyelisihi ketentuan (syariat) Dzat Yang Maha Pencipta lagi Maha Bijaksana yang dicakup oleh Islam baik yang terdapat dalam Al-Qur`an ataupun As-Sunnah, yang telah memberikan untuk masing-masing dari kaum lelaki dan wanita segala haknya dengan penuh kemuliaan dan keadilan.
B. Hakekat Emansipasi
Emansipasi wanita tentu bukan lagi ‘barang’ yang asing saat ini. Terlebih istilah itu sering diserukan dan didengungkan baik melalui media cetak, media elektronik, ataupun forum-forum seminar. Emansipasi itu sendiri merupakan gerakan untuk memperoleh pengakuan persamaan kedudukan, derajat serta hak dan kewajiban dalam hukum bagi wanita. (Lihat Kamus Ilmiah Populer)
Lantas siapakah pengusungnya dan apa targetnya? Pengusungnya adalah musuh-musuh Islam. Sementara targetnya adalah untuk menebarkan kebencian terhadap agama Islam dengan menampilkan potret yang bukan sebenarnya. Mereka kesankan bahwa Islam adalah agama yang memasung hak-hak kaum wanita, membelenggu kebebasannya serta mengubur segala potensinya. Target berikutnya adalah untuk menjerumuskan kaum wanita ke dalam jurang kenistaan, manakala terpengaruh dengan syubhat emansipasi tersebut dan melepaskan dirinya dari rambu-rambu dan bimbingan Islam yang suci.
Demikianlah salah satu gerakan propaganda (usaha untuk memanipulasi persepsi) yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sehingga amat tepat bila gerakan ini disebut dengan GPK (Gerakan Pengacau Keimanan), karena demikian gencarnya upaya yang mereka tempuh untuk mengacaukan keimanan umat Islam (terkhusus kaum wanitanya) dengan intrik manipulasi tersebut.
Menyikapi hal ini umat Islam tak perlu kecil hati, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji untuk menjaga agama Islam dari rongrongan para musuhnya. Bahkan Dia akan senantiasa menyempurnakan cahaya agama Islam tersebut dan memenangkannya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
يُرِيدُونَ لِيُطْفِئُوا نُورَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُورِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Mereka berupaya untuk memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia memenangkannya di atas semua agama meskipun orang-orang musyrik benci.” (Ash-Shaff: 8-9)
Di antara bentuk penjagaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan penyempurnaan-Nya terhadap cahaya agama Islam adalah dengan dimunculkannya para ulama yang senantiasa menjaganya dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat yang mengatasnamakan agama, dan penakwilan agama yang keliru yang dilakukan oleh orang-orang jahil.
C. Emansipasi dalam Perspektif Islam
Emansipasi sendiri sudah berkembang sejak Islam pertama kali muncul. Makna emansipasi sudah tertuang dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat mengakui keberadaan dan kedudukan seorang wanita dengan memperlakukan mereka penuh penghormatan. Menempatkan seorang anak wanita sebagai buah hati yang wajib dilindungi. Menempatkan seorang istri sebagai wanita suci. Dan seorang ibu sebagai ratu, guru dan panutan yang dijaga hatinya.
Di dalam Al-Qur'an, Allah Subhanahu wa Taala telah mengkhususkan perempuan menjadi nama sebuah surat yang cukup panjang, yaitu surat An-Nisâ (Perempuan). Allah Subhanahu wa Taala menyejajarkan perempuan dengan laki-laki dalam bidang hak azasi manusia, peran di bidang keagamaan dan peradaban yang disesuaikan dengan kodrat kewanitaannya yang lemah lembut, juga memuliakan, mengasihi dan menyayangi kaum wanita. Karena itu Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam banyak moment mewasiatkan kaum lelaki akan hak-hak kaum wanita,
"Ingatlah, berwasiatlah kalian kepada wanita dengan kebaikan." (HR Bukhârî dan Muslim). Kemudian Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menganjurkan kepada manusia agar bergaul dengan perempuan secara lemah lembut,
“Orang Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya kepada istrinya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzî).
Di satu sisi, kita diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk memuliakan kaum perempuan. Tapi di sisi lain, kita menyaksikan betapa kaum perempuan itu sendiri yang menghinakan dirinya sendiri.
Dalam Al Qur’an, Allah Subhanahu wa Taala berfirman, artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS. An-Nisâ: 1).

Dari penjelasan Al Qur`an di atas, diketahui bahwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan, itu asalnya satu, yaitu dari nafs (jiwa). Perkembangbiakan manusia saat ini asalnya dari nafs juga. Hakekat kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Laki-laki dikaruniai pikiran dan hati, demikian juga perempuan. Dan Allah tidak membedakan hamba-Nya berdasarkan jenis kelamin untuk memperoleh kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Semua mempunyai kesempatan untuk mendapatkan pahala dan bisa tergelincir ke dalam dosa.
Dan makin diperjelas dengan firman Allah Subhanahu wa Taala, artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisâ: 34).
Seyogyanya hal-hal di atas harus kita pegang sebagai prinsip. Dan apabila Allah membebankan kepada masing-masing pihak dengan amal perbuatan yang berbeda, itu bukan karena Allah menganaktirikan perempuan, tetapi karena disesuaikan dengan fitrah mereka masing-masing. Yang dalam segi fisiologis, psychis maupun morfologi berbeda.
Kesetaraan gender dalam Islam haruslah sesuai dengan syariat, yakni wanita dan laki-laki boleh sejajar sesuai dengan fungsinya, bukan pada kodratnya karena Allah sudah membedakan antara laki-laki dan wanita.
Tidak usah minta disamakan dengan laki-laki, karena dilihat dari sudut pandang mana pun tetap beda. Secara fisik, bentuk tubuh dan ‘onderdil’ di dalamnya pun beda. Wanita dilengkapi organ seperti rahim untuk mengandung, kelenjar susu untuk memproduksi ASI, dan lain-lain, sementara laki-laki tidak. Wanita juga lebih perasa, lebih lemah lembut dan penyayang. Sementara laki-laki lebih kuat fisik dan mentalnya. Dan masih banyak perbedaan lain yang kaum feminis pun tahu itu. Maka dengan masing-masing kelebihan dan kelemahan itulah, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan hidup berdampingan, saling berkasih-sayang, saling melengkapi. Jadi tidak perlu dibuat sama karena hanya akan menimbulkan masalah. Islam telah jelas-jelas mengatur hak dan kewajiban kaum Adam dan kaum Hawa masing-masing. Lagi pula, bukankah Allah Subhanahu wa Taala tidak menilai seseorang dari jenis kelaminnya, tapi dari ketakwaannya? Firman Allah Subhanahu wa Taala, artinya:
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al Hujurât: 13). Jadi, sebagai wanita Muslimah, hendaknya rela dengan kodratnya sebagai wanita, yang kelak ketika menikah, akan hamil, melahirkan, menyusui, mengurus rumah dan mendidik anak. Walhamdulillâh Rabbil ‘Âlamîn.
Wanita yang Menyerupai Laki-lakiPara pengusung gerakan feminisme, selain di dunia ini mereka tidak akan menemukan kebahagiaan hakiki, mereka juga mendapatkan ancaman yang amat keras karena telah meyimpang dari fitrah dan kodrat kewanitaan mereka serta menyerupai laki-laki dalam hal berpakaian, penampilan, akhlak dan tindakan.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang berpenampilan seperti laki-laki” (HR. Bukhârî). Laknat artinya terusir dan dijauhkan dari rahmat Allah Subhanahu wa Taala.
Hadits lain yang juga berasal dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu, dia berkata, “Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melaknat kaum laki-laki yang berpenampilan seperti wanita dan wanita yang berpenampilan laki-laki” (HR. Al-Bukhârî).
Wanita yang berpenampilan seperti laki-laki artinya yang meniru-niru laki-laki dalam berpakaian dan penampilan. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dipandang oleh Allah Subhanahu wa Taala pada hari kiamat; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang menyerupai laki-laki, dan dayyûts (orang yang tidak punya rasa cemburu terhadap keluarganya).”
D. Dinamika Emansipasi, Kodrat dan Peran Seorang Wanita
WACANA seputar perempuan dan syari`at Islam masih saja menyisakan permasalahan yang menarik diperbincangkan. Konon lagi selama ini seperti belum ditemukan formula yang tepat dalam penegakan syari`at Islam kepada khalayak umum, terutama kepada kaum perempuan. Padahal kalau mau jujur, tataran normatifitas (ajaran normatif Islam) dan sepanjang yang dipraktekkan Nabi Muhammad SAW, tidak ada pertentangan atau konflik antara perempuan dan syari`at Islam. Sebagaimana kepada kaum laki-laki, Islam telah mengatur kehidupan kaum perempuan dengan sebaik-baiknya. Ajaran Islam yang dikenal ramah perempuan ini sebagian besarnya telah dilaksanakan Nabi Muhammad SAW kepada para istri, anak perempuan dan keluarganya. Dengan kata lain, ajaran Islam berkenaan dengan perempuan telah diatur sedemikian rupa sehingga berada pada tatanan yang melindungi dan memberikan hak yang penuh kepada perempuan. Malahan Islam menempatkan perempuan pada lini terdepan dalam banyak aspek dan memposisikan mereka secara tepat dan benar. begitulah adanya.
Hanya saja, paska kehidupan nabi, perempuan muslim mulai merasakan perlakuan subordinatif dan diskriminatif dalam kehidupan mereka. Demikian juga keadaan yang nyaris sama dialami oleh kaum perempuan di Aceh dalam konteks penerapan syari`at Islam akhir-akhir ini. Kaum perempuan seakan-akan menjadi objek, sasaran bidikan utama (kelinci percobaa) penegakan hukum Islam ini. Dari model pendekatan, tahapan, sasaran dan teknik kerja aparatur penegak hukum syari`at Islam seperti polisi syari`at (wilayatul hisbah/WH dan Satpol PP), sungguh tidak aman dan bermartabat bagi kemanusiaan kaum perempuan. Sisi substantif yang diharapkan terwujud melalui pelaksanaan syari`at Islam, seperti terciptanya kehidupan umat Islam yang lebih bermartabat menjadi terhalang dan menjadi sangat terganggu.
Perempuan di sudut syari`at
Membincangkan penerapan syari`at Islam di Aceh setuju atau tidak, realitas di lapangan telah menyeret perempuan sebagai sorotan utama. Seolah-olah perempuan merupakan objek paling menentukan eksistensi syari`at Islam itu sendiri. Bahkan dampak lebih jauh, perempuan tidak jarang diposisikan sebagai perusak tatanan syari`at Islam.
Berbagai isu yang akrab dengan perempuan, apakah masalah emansipasi, keadilan gender, kepantasan dalam berpakaian dan perilaku perempuan di ranah publik, serta pemenuhan hak-hak dan kesempatan dalam mengaktualisasikan diri sebagai bagian dari masyarakat sering dibenturkan dengan pembatasan-pembatasan yang diatasnamakan syari`at Islam. Akibatnya, tampilan perempuan dalam perspektif syari`at Islam relatif buruk dan tidak menguntungkan. Hal ini tidak sepenuhnya salah, hanya tidak adil saja. Sebab, perempuan bukanlah variabel tunggal dalam masalah ini. Kaum laki-laki yang mendominasi berbagai lini kehidupan dalam masyarakat patriakal tidak bisa dinafikan, bahkan kalau mau jujur justru berada pada shaf terdepan. Artinya, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama turut berandil menghadang atau menyahuti implimentasi syari`at Islam di Aceh secara benar dan tepat.
Memetakan perempuan
Lazimnya, dalam pemetaan, perempuan sering diposisikan ke dalam tiga kelompok. Pertama, perempuan sebagai individu atau bagian dari anggota masyarakat. Kedua sebagai istri dan ketiga sebagai ibu. Dalam kaitannya dengan prosesi syari`at Islam di Aceh, posisi perempuan sebagai individu dan istrilah yang paling banyak menimbulkan sorotan. Sedangkan sebagai ibu, kedudukan perempuan relatif lebih nyaman, tidak banyak masalah. Sebagai individu, perempuan sebagai bagian dari umat yang berkiprah di sektor publik. Di sektor ini, syari`at Islam yang digulir di Aceh saat ini paling banyak membelenggu hak-hak perempuan di muka umum. Perempuan serba salah dengan keindahan suara, tubuh dan pakaiannya. Ruang gerak dalam beraktivitas di luar rumah guna menjalankan haknya untuk aktualisasi diri terasa begitu sempit dan diawasi dua puluh empat jam. Ironisnya, semua hambatan tersebut mengatasnamakan penegakan syari`at Islam.
Dengan kata lain, ruang terbuka yang kondusif dan terlindungi bagi perempuan untuk bermujahadah dan beramal shalihah aksesnya ditutup rapat-rapat. Mobilitas perempuan di luar rumah dirumorkan secara berlebihan dengan kondisi keamanan yang tidak terjamin. Saya pikir ini hanyalah rekayasa sosial sepihak dari ketidakinginan akan terusiknya dominasi kaum laki-laki di ranah sosial. Ibarat diciptakan dengan sengaja, dimana tidak ada suatu upaya nyata memberi rasa aman bagi perempuan keluar rumah dengan menciptakan lingkungan bersama yang ramah dan nyaman bagi perempuan. Kalau memang kondisi keamanan dijadikan prasyarat kebolehan perempuan berkiprah di domain publik, mengapa keadaan tidak aman dibiarkan?
Perempuan sebagai istri memiliki masalah yang lebih banyak lagi kala disinggungkan (vis a vis) dengan syari`at Islam. Dalam kedudukannya sebagai istri di dalam keluarga, kewajibannya lebih banyak dibebankan kepada kaum perempuan dibandingkan dengan hak yang harus ia diterima.
Di mata syari`at, perempuan sepertinya lebih mudah meraih dosa (neraka) daripada meraih pahala (syurga). Dalam implimentasinya syari`at Islam hanya menjadikan perempuan sebagai objek dan pelengkap penderita (korban). Jadi seolah-olah syari`at Islam hanya membidik apa yang bisa menghalangi perempuan. Apa yang bisa disalahkan dari si perempuan, atau kesalahan apa yang bisa dicari dari si perempuan. Perempuan hanya menjadi bulan-bulanan dan pertaruhan syari`at Islam. Seolah-olah kehancuran syariat Islam lebih besar disebabkan oleh perempuan, padahal kita mengakui laki-laki adalah pemimpin. Tetapi saat terjadi kegagalan penerapan syariat, maka perempuanlah yang menjadi kambing hitam. Ketika terjadi kasus amoral yang melibatkan perempuan, maka dapat dipastikan bahwa perempuan sebagai tersalah dan subjek utama dari kesalahan itu. Sementara pasangannya, laki-laki, amat sedikit mendapat celaan masyarakat, dan bahkan bebas atau kebal syari`at.
Mengapa hanya perempuan ?
Harus diakui bahwa dalam berbagai kasus pelanggaran syari`at, kaum laki-laki lebih banyak diringankan perkaranya. Mereka lebih dikenakan hukum yang bersifat umum, tidak ada hukum khusus bagi laki-laki. Seperti larangan judi, khalwat, dan korupsi. Sedangkan perempuan kerap dijerat hukum khusus, seperti dalam kasus aborsi, atau pembunuhan janin hasil hubungan gelap. Kedua perbuatan tersebut memang sudah nyata salah tapi mengapa hanya pihak perempuan saja yang disalahkan. Padahal bila dilihat lebih dalam lagi kedua jenis insan ini telah memulai melakukan kesalahan yang akhirnya berakibat pada kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang perempuan. Bukankah dengan membiarkan silaki-laki lolos dari jeratan hukum kriminal ini, ia akan merasa bebas dan akan mengulangi lagi dengan perempuan lainnya. Dosa zina adalah dosa bersama antara laki-laki dan perempuan, sehingga untuk penyelesaian masalah yang diakibatkan dari perbuatan tersebut keadilan hukum terhadap kedua jenis makhluk ini harus dapat ditegakkan.
Formula fiqih klasik sering dijadikan rujukan untuk melegitimasi dan mencari justifikasi bagi upaya pengebirian perempuan. Ayat-ayat dan hadis Nabi ditafsirkan dan dipahami secara kaku tanpa sedikitkan mempertimbangkan konteks ruang dan waktu yang relevan dengan perubahan zaman. Padahal relativitas atau kelunturan ajaran Islam sangat dikenal dalam sejarah perjalanan generasi umat Islam masa lalu. Mereka secara cerdas mampu memahami dan menjalankan Islam sesuai dan tepat menurut tuntutan zaman dan kondisi riil daerah mereka. Mereka justru berhasil mempribumisasikan ajaran Islam dalam bingkai spirit nuansa lokal yang ada. Dari Islam mereka mengambil intisarinya saja, sedangkan kemasan luar diadaptasikan dengan kenyataan sekitar mereka. Sehingga tampilan wajah Islam dalam masyarakat Turki, Iran dan India misalnya sungguh sama sekali tidak bernuansa kearab-araban. Tidak demikian kenyataannya dengan sebagian masyarakat Muslim di Indonesia dan di Aceh yang mengira bahwa cara berislam sejati adalah asal sudah bergaya Arab (arabisasi), seperti bersurban, bercadar, bercelak, berwangi-wangian sampai menyengat dan berjenggot. Sedangkan esensi Islam seperti pola hidup bersih dan sehat, tekun dan ulet, kerja keras, disiplin dan menghargai waktu, jujur, adil, menghargai dan menghormati orang lain, ramah dan memuliakan, membangun rasa aman dan nyaman bagi sekitar, sebagian besar dialpakan dan keseharian.
Islam dan hak dasar perempuan
Sebenarnya cerminan perempuan dalam perspektif syari`at Islam adalah kebebasan dan keadilan. Perempuan memiliki hak-hak yang maksimal dalam melakukan aktivitas publik, bahkan mobilitas perempuan dalam sejarah Islam dikenal gesit dalam berbagai bidang. Tidak ada suatu doktrin syari`atpun yang membatasi pergerakan perempuan saat itu. Ajaran Islam dipahami dan dilaksanakan dengan samangat liberatif ajaran Islam yang sesungguhnya. Tetapi mengapa kemudian di era sekarang syari`at Islam lebih menampakkan kesan membatasi ruang gerak kaum perempuan?
Ada distorsi yang mendasar terhadap spirit Islam yang bernuansa pembebasan ini. Distorsi tersebut pertama diakibatkan oleh kekurangpahaman kaum perempuan sendiri terhadap syari`at Islam. Selama ini kaum perempuan mengenal dan memahami syari`at Islam secara parsial, dangkal dan hanya pada lapisan kulit luarnya saja. Syari`at Islam bagi perempuan tidak lebih hanya dipersepsikan sebatas kewajiban menutup aurat (pakaian) dan larangan berbuat zina (pergaulan). Dalam kedua aspek inipun dipahami secara tidak utuh. Kewajiban menutup aurat kaum perempuan hanya dipahami sebagai kewajiban menutup kepala alias mengenakan jilbab saja. Sementara masalah pakaian lain dalam lingkupnya yang utuh; yang menutupi anggota tubuh lainnya dialpakan begitu saja. Sehingga ada kesan, aturan berpakaian versi syari`at Islam telah memadai dengan mengenakan jilbab an sich.
Tidak heran bila baju dan celana ketat menjadi sah-sah saja membalut tubuh perempuan muslim masa kini. Banyak pelanggaran syari`at Islam yang tidak dimengerti oleh kaum perempuan. Keterbatasan wawasan dan pemahaman kaum perempuan menjadi lengkap manakala para ulama tradisional di Aceh sebagai pemegang otoritas hukum Islam dalam masyarakat menjadi pihak kedua yang banyak ”membajak” spirit superlatif syari`at Islam. Teungku-Tengku atau Abu-Abu di Aceh kerap ”membodoh-bodohi” kaum perempuan dalam mengamalkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Ajaran Islam menyangkut hak-hak dan kewajiban perempuan ditafsirkan sesuka hatinya berdasarkan pemahaman formalitas Islam yang sempit dan hangar. Biasanya sangat terikat pada penafsiran ulama mazhab tertentu yang sering mengabaikan realitas kekinian dan kedisinian. Relevansi syari`at Islam dengan perkembangan dan kemajuan zaman modern di mana perempuan kini beraktivitas sedikit sekali mendapat pertimbangan mereka.
Harus diakui, akibat dari lemahnya penguasan pemahaman ajaran Islam sebagai akibat dari gagalnya pendidikan Islam dalam masyarakat bawah dan ditambah dengan penafsiran Islam yang begitu subjektif dari para ulama, kaum perempuan banyak yang terjebak dalam pelanggaran syari`at Islam. Namun pelanggaran dimaksud hanya dalam kategori tindakan yang tidak bersifat esensial, bukan tindakan yang fatal seperti korupsi, dan gangguan keamanan sebagaimana banyak dilakukan kaum laki-laki.
Kebanyakan perempuan Muslim di Aceh masih awam terhadap hak dan kewajibannya sebagai individu dalam masyarakat, sebagai anggota dalam keluarganya, sebagai ibu dari anak-anaknya, dan sebagai istri dari suaminya. Akibatnya, ketika pemerintah daerah memberlakukan syari`at Islam perempuan menjadi kalangkabut, serba salah dan akhirnya menjadi objek dan sasaran pelarian (pengalihan issu) pemerintah terhadap keterbatasan mereka selama ini yang gagal menjalankan roda pemerintah yang bersih dan berwibawa. Sejatinya, untuk membantu kaum perempuan sehingga kuat, benar dan lurus di hadapan penegakan syari`at Islam adalah dengan memberdayakan kaum perempuan melalui lapangan pendidikan dan terobosan ekonomi khusus perempuan. Sudah saatnya, pembangunan sekarang berpihak kepada kaum perempuan. Selama ini hanya kewajiban yang dituntut kepada kaum perempuan, sementara hak-haknya begitu terabaikan dan diabaikan oleh pemerintah
Propaganda Emansipasi dan Karirisasi
Gerakan emansipasi tumbuh sejak awal abad XX. Anehnya propaganda gerakan ini justru munculnya dari laki-laki dan hanya terdapat sedikit saja wanita. Awalnya emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan kesempatan pendidikan akademis bagi wanita. Seruan ini cukup mendapat simpati karena aktivitasnya mengarah kepada peningkatan kecerdasan, keleluasaan generasi baru yang lebih cakap dan berkualitas.
Namun seiring perkembangan zaman mereka tidak saja menyerukan pentingnya mendapatkan pendidikan, tapi dengan berkedok emansipasi mereka mulai meneriakkan persamaan derajat, kebebasan, peningkatan karier di segala bidang (karirisasi). Terjadilah gerakan besar-besaran untuk mendapatkan kesempatan agar bisa tampil di luar, bekerja dan melakukan aktivitas apa saja layaknya laki-laki. Dengan alasan wanita yang tinggal di rumah adalah wanita yang terpasung eksistensi dirinya, tidak menunjang usaha produktivitas, wanita secara intelektual sama dengan laki-laki, dengan hanya menjadi ibu rumah tangga dianggap wanita kehilangan partisipasi dalam masyarakat.
Mereka meneriakkan emansipasi dan karirisasi. Karena bagi mereka apa yang dikerjakan laki-laki dapat pula dikerjakan oleh perempuan. Mereka menyamakan segala hal antara laki-laki dan perempuan, padahal kita tidak dapat menutup mata ada hal-hal mendasar -mungkin mereka lupa- tidak akan mungkin dapat disamai.
Wanita karier, begitu kita sering mendengar istilah ini. Disebut wanita karier karena dalam sehari-hari mereka berjejel di lapangan kerja yang seharusnya menjadi pekerjaan laki-laki. Ciri-ciri wanita karier ini menurut seorang penulis di Inggris adalah, mereka tidak suka berumah tangga, tidak suka berfungsi sebagai ibu, emosinya berbeda dengan wanita non karier, dan biasanya menjadi wanita melankolis.
Disadari ataupun tidak, timbul dilema baru dalam dirinya dan kemelut berkepanjangan di dalam masyarakat. Mereka harus bekerja banting tulang untuk mencari nafkah yang seharusnya merupakan tugas laki-laki. Laki-laki menjadi kehilangan kesempatan pekerjaan karena diserobot wanita karier, hal ini menimbulkan masalah psikologis tersendiri bagi laki-laki.
Informasi mengenai gerakan emansipasi dan karirisasi mendapatkan porsi publikasi politis dan bisnis secara besar-besaran. Oleh karena itu bagi mereka yang dicurigai menghalangi gerakan emansipasi disebut sebagai diskriminasi gender. Biasanya agama sering dijadikan kambing hitam sebagai media yang menghalangi gerakan tersebut, bahkan ada yang berani menghujat agama Islam merupakan agama yang mengekang kemajuan wanita.
Dan anehnya mereka yang mengaku muslim tidak sedikit yang menunjukkan perlawanan terhadap aturan syariat yang di buat Allah. Aneh memang, padahal sudah jelas-jelas tanpa Islam, wanita tidak akan pernah maju, dulu, sekarang dan masa yang akan datang. Bisa dibandingkan bagaimana Islam menempatkan wanita pada posisi yang sangat terhormat, sedangkan agama lain, apa yang ia katakan terhadap perempuan, mereka hanya menganggap perempuan sebagai keranjang sampah, hina dan menyesatkan.
Seharusnya kita jujur, tanpa kedatangan Islam wanita tidak akan pernah seperti sekarang. Lalu masihkan kita berani mengatakan Islam menyebabkan wanita-wanita terbelakang? Sungguh pemikiran bodoh yang tidak memiliki dasar sama sekali.
Wanita Bekerja, Why Not?
Nyonya Jane Martan Seasih Duta Besar Gresia untuk PBB mengatakan “Melahirkan adalah fungsi utama seorang wanita, wanitalah yang menangani pendidikan anak-anaknya.” Memang sudah fitrahnya wanita memiliki empat keistimewaan yang tidak dimiliki laki-laki, haid, hamil, melahirkan, menyusui. Kempat fungsi ini mempengaruhi sifat dan tingkah laku wanita dalam masyarakat. Fungsi ini tidak akan bisa digantikan oleh laki-laki, namun ada pekerjaan laki-laki sekarang yang banyak digantikan oleh wanita, yaitu mencari nafkah.
Dalam perspektif Islam wanita tidak dibebani mencani nafkah, baik untuk dirinya sendiri apalagi untuk orang lain, yang bertanggung jawab adalah ayahnya jika ia belum berkeluarga, suaminya jika ia telah berkeluarga, saudara laki-laki dan pamannya jika ayah dan suaminya tidak ada. Dispensasi ini akan memberikan peluang kepada wanita untuk dapat mendidik anak-anaknya, mengurus suaminya, sehingga dapat dilindungi dari pelecehan atau penistaan.
Namun wanita bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk membantu meringankan beban keluarga bukanlah sesuatu yang haram. Pada prinsipnya Islam mengarahkan kaum wanita supaya dalam bekerja harus mengutamakan tugas fitrahnya, yaitu mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya agar kelak dapat dipersiapkan menjadi penerus risalah yang dibawa Rasul.
Ia tidak melanggar fitrah dan syariat yang telah ditetapkan, hendaklah ia tetap menjaga kehormatan keluarga, sehingga tidak muncul peluang bagi kerusakan moral dan tersebarnya fitnah terhadap wanita di tengah masyarakat.
Adapun pekerjaan yang dilakukan itu hendaknya memenuhi syarat-syarat berikut, pekerjaan yang dilakukan benar-benar membutuhkan penanganan dan sesuai fitrah wanita, misalnya dokter kandungan, perawat, guru, dosen. Dalam pelaksanaanya, tidak bercampur baur dengan laki-laki. Jam kerja yang dilakukan tidak melebihi kewajiban pokoknya mengurus keluarga. Syarat lainya adalah adanya persetujuan dari ayah, suami atau saudara laki-laki yang bertanggungjawab terhadap wanita tersebut.
Dengan memperhatikan aturan tersebut, wanita tetap dapat menjaga jati dirinya sebagai hamba Allah yang shalihah. Ia tidak akan melanggar syariat dan fitrah dirinya. Ia akan tetap menjaga harkat dan matrabat diri dan keluarganya, sehingga kemampuan dan ilmu yang ada pada dirinya dapat bermanfaat untuk orang lain, ia pun dapat membantu meringankan beban keluarga tanpa harus mengorbankan harga dirinya.

apakah cinta dapat merubah pribadi seseorang

cinta kadangkala membuat kita menjadi buta, cinta akan dapat merubah jiwa dan kepribadian seseorang. boleh jadi dahulunya orang itu brandal dan ugal2an tapi begitu dia jatuh cinta hatinya akan luluh. baru pertama ini dalam hidupku merasakan cinta dan karena cintaku kepada dia hidupku menjadi berubah, seolah - olah di setiap iring langkahku selalu ada dia yang mengawasi,kemudian hati kecilku bertanya - tanya, apakah cinta yang dapat merubah pribadi seeorang atau pribadi seseorang yang akan dapat merubah cinta.
aku berharap engkau nurhasanah dapat menerima aku apa adanya karena memang beginilah adanya aku, terakhir kita bertemu kemudian kamu mengajukan satu permintaan dimana permintaan itu gx bisa aku penuhi, maafkan aku karena aku tidak pantas untukmu.

Perlunya pendekatan kelimuan dalam penegakan hukum

Penegakan kelilmuan dalam penegakan hukum pidana sangat diperlukan karena penegakan hukum dilakukan dengan ilmu mulai dari mebuat undang – undang, mengubah undang – undang dan menerepakan atau menegakkan undang – undang tanpa ilmu semua tatanan yang dibuat akan rusak. semakin tinggi ilmu hukum yang digunakan maka semakin berkualitas produk hukum yang dihasilkan dan semakin memiliki daya tambah dalam penerapannya. Perubahan dan perkembangan hukum harus diikuti dengan perkembangan ilmu. Hukum yang berlaku warisan belanda sebagaimana yang diadopsi dalam KUHP adalah produk kolonial dan dibuat beberapa abad yang lalu sedangkan hukum selalu berkembang dari tahun ke tahun alangkah tertinggalnya jika perkembangan hukum tidak diiringi dengan perkembangan ilmu hokum, maka dari ilmu menerapkan hukum pada zaman belanda dengan ilmu menerapkan pada zaman RI sangat berbeda, sehingga pendekatan kelilmuan dalam penegakan hukum pidana sangat diperlukan bahkan bukan hanya pendekatan keilmuan dalam konsentrasi ilmu hukum saja tetapi juga konsentrasi ilmu non hokum. Juga diibaratkan suatu system hukum itu adalah mobil tentunya ilmu menjalankan mobil pada zaman belanda berbeda dengan ilmu menjalankan mobil pada zaman RI dan untuk menjalankan mobil tersebut harus mempunyai SIM agar tidak ditilang artinya adalah apabila hal ini dikaitkan dengan hukum maka untuk menjalankan suatu system hukum tidak hanya dituntut untuk menguasi ilmu hukum tetapi juga ilmu non hukum agar conek dan sinergis. Apabila penegakan hukum dilakukan tidak dengan pendekatan kelimuan maka yang akan terjadi adalah
Merusak ( mengeksploitasi ) sumber daya non fisik
Merusak sumber daya kehidupan
Merusakan sustainable development
Merusakan kepercayaan dan respek masyarakat
Menjadi virus bagi SPP yang sehat.

Perlunya pendekatan Kultural Relegius dalam ilmu hukum

Dalam penegakan hukum pidana saat ini sangat diperlukan pendekatan relegius & kultural karena pembangunan hukum kita sekarang tidak sekuler melainkan relegius dan memiliki warna keindonesiaan. Pendekatan religius merupakan amanat dan sekaligus tuntutan BANGNAS dan BANGKUMNAS, karena pembaharuan SISKUMNAS (SHN) yang selama ini ingin dituju adalah system hukum nasional ber-Pancasila. Ada beberapa dasar hukum yang membuktikan sekaligus memberikan tuntunan terhadap pembanguan hukum Indonesia sekarang bahwa pembangunan hukum kita tidak sekuler melainkan relegius dan penuh dengan warna yang pancasilais antara lain sebagai berikut :
(1) Pasal 29 (1) UUD’45 : Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Psl. 1 UU:4/2004 : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
(3) Pasal 3 (2) UU:4/2004 : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
(4) Pasal 4 (1) UU:4/2004 : Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME”.
(5) Pasal 8 (3) UU Kejaksaan No. 16/2004 : “Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, jaksa melakukan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah”.
Berdasarkan pada rambu-rambu nasional di atas, jelas menuntut adanya “pendekatan religius”. Bahkan dengan seringnya disebut “keadilan Pancasila” dan adanya ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4/2004), bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” (Psl. 28 ayat 1), dapatlah dikatakan bahwa rambu-rambu SISKUMNAS menegaskan perlunya “pendekatan kultural-religius”.

sulitnya masuk ke perguruan tinggi negeri

setiap anak yang baru lulus SMU / Madrasah tentunya ingin meneruskan ke perguruan tinggi namun memilih perguruan tinggi tidak semudah memilih baju ketika lebaran melainkan harus dengan penelitian dan pengamatan yang mendalam. perguruan tinggi yang dimanti oleh calon mahasiswa hampir semua bisa dipastikan adalah perguruan tinggi negeri baik di wilayah pontianak maupun di luar sana. untuk masuk ke perguruan tinggi negeri tidaklah mudah apalagi sekarang pendaftaran di untan sudah memakai sistem online, tidak semua orang tahu akan hal ini apalagi yang berasal dari desa, mereka belum tersentuh oleh teknologi atau boleh dikatakan gaptek.
permasalah yang muncul ketika masuk perguruan tinggi negeri sekarang adalah bahwasanya persaingan semakin ketat, dengan memakai sistem online sekarang maka calon mahasiwa di luar kalimatan juga bisa memilih perguruan tinggi di untan, itu artinya bahwa calon mahasiwa yang mengikuti tes tidak hanya bersaing dengan calon mahasiswa sesama daerahnya yang dalam hal ini adalah kalimantan barat namun mereka harus juga bisa bersaing dengan calon mahasiswa dari seluruh wiliyah indonesia. apabila mereka tidak lulus dalam SPMB maka alternatif berikutnya mereka akan memilih perguruan tinggi swasta yang kita tahu dan sadar bahwa perguruan tinggi swasta biayanya cukup mahal dan yang terpenting adalah kualitas pendidikan.